Ilustrasi Fintech |
Perempuan berusia 40 tahun ini berprofesi sebagai ibu rumah tangga, sementara suaminya bekerja sebagai supir ojek aplikasi online. Mereka memiliki tiga anak, dua di antaranya masih membutuhkan biaya untuk bersekolah. Dia juga masih harus menanggung hidup ibundanya yang telah sepuh dan sakit di rumah.
"Awalnya tahun ini, mau puasa saya pinjam duit Rp500 ribu dari aplikasi sebut saja DR, tapi yang cair hanya Rp375 ribu. Saya harus balikin beserta bunga lebih dari Rp600 ribu dalam dua pekan," L mulai bercerita pada di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (4/11).
Perempuan lulusan SMK ini sudah menyadari sejak awal bahwa bunga yang harus dibayarnya cukup besar, sekitar 20 persen. Uang yang dia pinjampun tak bisa semuanya cair karena ada biaya administrasi yang cukup besar.
Namun, karena dalam keadaan terjepit, tak ada saudara yang mau membantu dan sangat butuh, dia merasa tak ada salahnya mencoba.
Awalnya, L merasa sangat terbantu dengan adanya aplikasi itu. Uang cair begitu cepat tanpa proses yang rumit. Dia hanya perlu memberikan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan memfoto wajah sendiri bersama kartu identitas.
Pada tahap peminjaman awal, L masih bisa menutup utangnya secara berkala. Namun lama-kelamaan, dia merasakan keuangannya semakin buruk lantaran dia membuka sembilan aplikasi pinjaman uang untuk menutup utang dari aplikasi lain.
Bunga dari tiap aplikasi tak sama, bahkan kata dia ada pula yang tak sesuai dengan perjanjian awal. Uang yang dia putar pun mencapai puluhan juta rupiah, dari pinjaman awal yang tak sampai Rp1 juta.
"Jadi saya kayak gali lobang tutup lobang. Mungkin itu karmanya riba ya, uang abis dimakan jin dan setan. Tiap dari ATM, dapat uang langsung saya masukin ke aplikasi lagi," katanya sambil mulai menitikan air mata.
Meski sudah menggunakan banyak aplikasi dalam satu waktu, utangnya tak pernah tertutupi sepenuhnya. Debt collector mulai beringas. Mereka mulai mengirim teror melalui telepon, WhatsApp, dan SMS terus menerus. Debt collector, katanya, bahkan mengizinkan dirinya menjual organ tubuh.
"Bahkan saya akhirnya bekerja menjadi asisten rumah tangga. Saya masih diteror sampai majikan saya tidak berkenan sehingga saya akhirnya resign juga. Kalau orang bilang saya malas, saya sudah berusaha mbak, tetapi tidak cukup," tangis warga Kramat Lontar, Jakarta Pusat, ini semakin deras.
Tak hanya dialami sendiri, suami juga mendapatkan teror yang sama. Lelah dan tertekan dengan persoalan yang ia hadapi, L akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum minyak tanah yang ada di dapur rumahnya. Dia pikir, saudaranya akan membantu suami dan anaknya jika dia mati.
"Nanti uang santunan kematian saya juga biar bisa untuk menutupi utang saya," imbuhnya.
Singkat cerita, L yang sempat dirawat di rumah sakit itu merasa tak tahu harus berbuat apa untuk lepas dari jeratan bunga tak berbatas sekaligus teror para debt collector. Dia akhirnya mengadu pada LBH Jakarta untuk mendapatkan jalan keluar atas ketidakadilan yang diterimanya.
Di sana, dia bertemu dengan peminjam uang lainnya yang mengalami pelanggaran hukum dan HAM untuk kasus yang sama. S (32) misalnya, merupakan korban yang merasa data pribadi di ponselnya diambil untuk disalahgunakan.
Sementara itu, VS mengalami pelecehan seksual karena tak sanggup membayar utang. Perempuan tersebut diminta untuk melayani nafsu bejat para debt collector jika ingin terbebas dari utang.
LBH Jakarta mengungkapkan bahwa ada 283 korban dari kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah yang mengadukan keluhan terhadap berbagai aplikasi Fintech. Beberapa perusahaan yang dikeluhkan bahkan sudah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Oleh karena itu, mereka membuat pos pengaduan korban pinjaman online (pinjol) di website LBH Jakarta (www.bantuanhukum.or.id) yang dibuka mulai 4 November hingga 25 November 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar